Jam 12:00 WIB


BLOG MINI

“Hadits Shahih Madzhabku”, Ditujukan kepada Mujtahid, Bukan kepada yang lainnya

Tentang Ijtihad para Imam Mujtahid

Telah MASYHUR dan shahih periwayatan dari Imam As Syafi’i, bahwa beliau telah menyatakan, 'Jika kalian melihat dalam kitabku menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam maka tinggalkanlah perkataanku" , atau ungkapan yang semakna dengannya, ”Jika telah shahih sebuah hadits, maka ia adalah madzhabku”. Para ulama mujtahid, semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal juga menyatakan hal yang semakna dengan apa yang telah disampaikan oleh Imam As Syafi’i.
Namun, apakah itu bermakna bahwa siapa saja ketika mengetahui hadits shahih maka ia bisa mengatakan, ”Ini adalah madzhab As Syafi’i”, lalu ia mengamalkan makna dzahir dari hadits itu? Ternyata tidak demikian.
Para ulama mu’tabar telah menjelaskan maksud dari pernyataan para imam mujtahid tersebut serta menetapkan kriteria siapa yang memiliki kapasitas dalam menilai bahwa pendapat Imam telah bertentangan dengan hadits shahih, sehingga perlu didahulukan hadits shahih tersebut daripada pernyataan sang Imam?
Kapasitas dalam Menilai Pendapat Imam untuk Dihadapkan dengan Hadits Shahih
Dalam hal ini, Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan, bahwa beberapa ulama besar As Syafi’iyah melakukan hal ini, yakni berfatwa dengan hadits ketika melihat bahwa pendapat madzhab berselisihan dengan hadits. Semisal dari mereka adalah Imam Al Buwaithi, Abu Qasim Ad Dariki serta Abu Hasan Ath Thabari (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 53).
Kemudian Al Hafidz Ibnu Shalah menyampaikan bahwa mereka yang melakukan hal ini tidaklah banyak dan beliau menyampaikan, ”Hal ini bukanlah perkara yang remeh, tidak setiap faqih mudah baginya independen dalam mengamalkan apa yang ia pandang sebagai hujjah dalam hadits”. (lihat, Adab Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 54).
Dari para ulama yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Shalah, diketahui bahwa yang mampu melakukan hal ini adalah mujtahid madzhab.
Imam An Nawawi juga menjelaskan,”Hal ini, apa yang dikatakan As Syafi’i, bukan bermakna bahwa siapa saja yang melihat hadits shahih dia mengatakan,’ini adalah madzhab As Syafi’i’, dan mengamalkan dzahirnya. Dan sesungguhnya hal ini bagi siapa yang sampai pada derajat ijtihad dalam madzhab”. (Al Majmu’, 1/105).
Selanjutnya, Imam An Nawawi menyampaikan,”Dan syaratnya dalam prasangkanya didominasi bahwa As Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-belum mengetahui hadits tersebut atau belum mengetahui keshahihannya. Hal ini tidak lain setelah mentela’ah kitab- kitab As Syafi’I seluruhnya demikian juga kitab-kitab para pengikutnya yang mengambil darinya juga yang semisal dengan kitab-kitab tersebut. Dan syarat ini sulit, sedikit orang yang memiliki sifat tersebut.” (Al Majmu’, 1/105).
Perlunya syarat itu menurut Imam An Nawawi, dikarenakan Imam As Syafi’i sengaja meninggalkan pengamalan dhahir hadits yang beliau mengatahuinya dan itu cukup banyak. Hal itu dikarenakan beliau memperoleh dalil yang menunjukkan kecacatan, naskh, takh-shish atau melakukan takwil padanya. (lihat, Al Majmu’, 1/105).
Sedangkan pengetahuan Imam As Syafi’I yang menyeluruh mengenai hadits hukum, Ibnu Huzaimah yang merupakan hafidz hadits yang juga seorang faqih yang telah mengkaji pendapat-pendapat Imam As Syafi menyatakan,”Aku tidak mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam masalah halal dan haram yang tidak dicantumkan As Syafi’i dalam kitab-kitabnya”. (lihat Al Majmu, 1/105).
Dengan demikian, amat kecil kemungkinan ada hadits yang terlewat dari kajian Imam As Syafi’i. Namun meski demikian tetap ada upaya koreksi terhadap pendapat Imam madzhab yang telah dilakukan oleh para ulama derajat yang sampai pada mujtahid madzhab, seperti masalah tatswib, rajih dalam madzhab adalah Sunnah, dikarenakan adanya dalil shahih, meski bertentangan dengan pendapat jadid Imam As Syafi’i.
Kritik terhadap Ulama yang Tidak Tepat dalam Menerapkan Pernyataan Imam As Syafi’i
Para ulama menyebutkan sejumlah ulama yang menerapkan kaidah Imam As Syafi’i di atas, namun kurang tepat dalam pelaksaannya. Diantara adalah Ibnu Al Jarud yang menyampaikan, ”Telah shahih hadits mengenai batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam. Maka aku berkata, ’As Syafi’i menyatakan, ’telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam’”. Para ulama pun menyanggah pendapat Ibnu Al Jarud, karena Imam As Syafi’i telah mengetahui hadits tersebut dan sengaja meninggalkannya, karena menurut beliau hadits itu mansukh. (lihat, Al Majmu’, 1/105).
Hal yang sama terjadi pada Abu Al Walid An Naisaburi, ulama madzhab As Syafi’i yang mengikuti pendapat Ibnu Al Jarud dalam masalah berbukanya orang yang dibekam dan yang membekam. Para ulama Syafi’iyah pun menyanggah beliau sebagaimana menyanggah Ibnu Al Jarud. Menurut Imam As Subki, hal itu terjadi karena keterbatasan upaya mereka dalam melakukan pengkajian (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95).
Hal serupa terjadi pada Abu Al Hasan Al Karaji, yang meninggalkan qunut Shubuh dengan argumen, ”Telah shahih hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam meninggalkan qunut shubuh”. Imam As Subki sempat meninggalkan qunut shubuh karena pendapat tersebut. Namun setelah mengetahui bahwa yang ditinggalkan dari qunut waktu Shubuh dan di luarnya adalah berdoa atas qabilah Ri’l dan Dzakwan, sedangkan doa qunut Shubuh secara mutlak ada haditsnya, beliau pun kembali berqunut. As Subki pun menyampaikan, ”Tidak ada sedikitpun permasalahan hal itu dengan pernyataan As Syafi’i, dan sesungguhnya keterbatasan menimpa kita dalam sejumlah pandangan”. (lihat, Ma’na Qauli Al Imam Al Muththalibi, Idza Shaha Al Hadits fa Huwa Madzhabi, hal. 95).
Jika para ulama besar terkadang kurang tepat, karena keterbatasan dalam upaya melakukan kajian dalam menerapkan pernyataan Imam As Syafi’i, bagaimana dengan kita yang alim pun tidak, faqih pun bukan , dan apalagi jelas bukan mujtahid , yang menyeru untuk mengoreksi pendapat Imam As Syafi’i dan meninggalkannya, dengan alasan bahwa madzhab As Syafi’i adalah hadits shahih..??
Semoga kita termasuk orang yang bisa menyadari posisi dan kedudukan kita dalam bidang ilmu dan agama sehingga tidak sembarangan berkata dan bersikap terhadap para Imam Mujtahid yang menunjukkan kurangnya adab kita terhadap para Salafus shalih ahli ilmu..karena jika hal ini yang terjadi , maka hal itu justru menjauhkan kita dari nilai-nilai akhlaqul karimah yang di contohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya RA.
Semoga manfaat dan semoga kita selalu dalam hidayah ALLAH YANG MAHA LUAS RAHMATNYA.. amin..

¤ Di salin dan di edit dari hidayaullah.com

KEMBALI KE POSTING
Komentar

Tulis Komentar


Artikel lainnya
11-14-618=287173

ping fast  my blog, website, or RSS feed for Free



KEMBALI

DONASI


👇
SMS ADMIN

Email




BERANDA
© 2011 - 2024

XtGem Forum catalog